Jadi Narsum Bawaslu Barito Utara, KIPP : Indonesia Satu-Satunya Negara Memiliki 3 Lembaga Pemilu, Money Politics No. 3 Dunia

Foto : Kegiatan Sosialisasi Pengawasan Partisipatif Mencegah Pelanggaran Pemilihan PSU Oleh Bawaslu Barito Utara, di Kopi Itah Jalan Taman Remaja Muara Teweh (14/7/2025). Warna Kalimantan/M. Gazali Noor

M. Gazali Noor

M. Gazali Noor | Kalimantan Tengah

Published: 4 Agustus 2025

Jadi Narsum Bawaslu Barito Utara, KIPP : Indonesia Satu-Satunya Negara Memiliki 3 Lembaga Pemilu, Money Politics No. 3 Dunia

KALIMANTAN TENGAH, BARITO UTARA, MUARA TEWEH, - Kegiatan Sosialisasi Pengawasan Partisipatif Mencegah Pelanggaran Pemilihan Pada Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Barito Utara yang dilaksanakan Bawaslu Barito Utara (14/7/2025) mendatangkan narasumber menarik, Jojo Rohi.

Kegiatan yang digelar di Kopi Itah jalan Taman Rekreasi Remaja Muara Teweh ini menjadi sarana edukasi dan pencerahan terkait Pilkada Barito Utara yang tidak lama lagi akan Pemungutan Suara Ulang (PSU) pada Rabu, Tanggal 6 Agustus 2025 mendatang.

Menghadirkan salah seorang pembicara, yaitu Direktur Monitoring Komite Independent Pemantau Pemilu (KIPP) Engelbert Johannes Rohi atau akrab disapa Jojo, yang lebih detail menerangkan bentuk kecurangan dan praktik manipulatif dalam Pemilu berdasarkan pengalamannya melakukan observasi di Indonesia bahkan di wilayah konflik luar negeri, menjadikan kegiatan ini semakin berbobot.

Pria kelahiran Surabaya dan bagian dari aktivis mahasiswa 98 ini membandingkan Pemilu di Indonesia dengan negara lain terutama di kawasan asia. Pemilu di Indonesia menurutnya termasuk yang paling rumit di dunia.

"Baik sistem pemilunya maupun teknis kepemiluannya. Perbandingannya dengan India, tetapi India cuma satu daratan saja, sedangkan Indonesia kepulauan," jelasnya.

Di Indonesia, terangnya, satu-satunya negara di dunia yang memiliki 3 lembaga untuk menyelenggarakan Pemilu. Pertama KPU, Kedua Bawaslu dan Ketiga DKPP.

"Tidak ada satupun negara di bawah kolong langit ini yang punya DKPP selain Indonesia. Di negara lain umumnya cuma punya satu, KPU saja, lembaga semacam Bawaslu cuma di sebelas atau dua belas negara. Indonesia membutuhkan tiga karena kurangnya kepercayaan publik," ungkapnya.

Jojo menyebut ada kerangka akademis atau teoritis tentang definisi pelanggaran oleh para ahli politik dunia. Namun ia menyampaikan tentang praktek, yaitu 4 pelanggaran substantif yang dapat menentukan siapa menang dan siapa kalah.

"Pertama, soal hak pilih (DPT) dan hak untuk dipilih. Kedua, netralitas birokrasi, TNI dan Polri. Ketiga, money politics, intimidasi, represif. Keempat, manipulasi suara atau pungut hitung," ujarnya.

Tentang netralitas TNI dan Polri, Jojo membandingkannya dengan di Thailand yang memberikan hak pilih kepada anggota militer dan kepolisian, namun tidak dapat diterapkan di Indonesia.

"Di Thailand Panglima tertinggi tentara dan polisinya adalah Raja, bukan perdana menteri (Eksekutif). Kalau di Indonesia panglima tertinggi TNI dan Polri adalah Presiden, Presiden itu kan peserta Pemilu. Karena itu TNI - Polri harus netral," jelasnya.

Netralitas ASN pun penting jelas Jojo, karena secara filosofis terdapat huru "N" atau "Negara". ASN bukan apartur sipil "Pemerintah" melainkan Aparatur Sipil "Negara". Pemerintah masa baktinya 10 tahun, sedangkan Negara permanen, terang dia.

Jojo membeberkan data statistik mengenai 3 negara tertinggi yang melakukan praktik politik uang dan menjadi indikator proses demokrasinya berjalan baik atau tidak.

"Pertama, negara Uganda. Kedua, Republik Benin di Afrika Barat. Ketiga, Indonesia," sampai Jojo.

Mencegah politik uang, Kata Jojo, tidak cukup hanya dengan mengatakan jangan melakukan politik uang karena dilarang oleh undang-undang. Namun harus diberikan pemahaman lebih komprehensif.

"Kalau teman-teman di Jakarta itu ada satu istilah populer namanya pola 212. Kalau saya menjadi pemimpin daerah, 2 tahun pertama menjadi Bupati, Gubernur atau Walikota akan mengembalikan modal. Kemudian 1 (satu) tahun berikutnya itu kerja, nah, dua tahun sisanya cari modal lagi untuk periode kedua," beber Jojo disambut tawa peserta sosialisasi.

Praktik money politics selalu akan diikuti dengan praktik korupsi, apakah di legislatif atau eksekutif. Koruptor biasanya adalah produk dari Pemilu, sebutnya.